Ketika akan memutuskan untuk berhenti bekerja kantoran, maka telah siaplah diri ini dengan segala konsekuensi yang akan datang seperti hilangnya saat-saat “memanjakan” diri dari kantong sendiri, ketergantungan (kembali) biaya kuliah, dan yang pasti mengalah pada pertaruhan izzah yang selama ini standarnya dibuat sendiri.
Entah pertimbangan akurat ataukah sekedar mencari-cari pembenaran atas keputusan ini atau mungkin juga karena kurangnya mujahadah dalam diri. Dua bulan sudah aku lepas dari aktifitas kejar-kejaran antara tugas kuliah, jadwal kuliah dan deadline kantor. Dua bulan sudah terlepas dari 4 lampu merah yang selalu macet antara Kupar Cakung-Pondok Kelapa, persaingan dengan sopir metromini 45 di sepanjang Klender, merangsak pelan sekitar TPU Layur Rawamangun dan mengintip kegiatan “kupu-kupu malam” di perempatan Pulomas dalam terpaan angin malam menuju Kelapa Gading.
Layaknya mesin yang terus bergerak, setiap hari aku hanya memastikan untuk bisa menyelesaikan program S1 yang (sempat) tertunda ini walau kadang tak yakin apakah pelajaran yang selama ini ku terima telah benar-benar dikuasai? apakah nilai A, B, atau C yang kuterima benar-benar menujukkan kualitas keilmuanku? Idealis sekali bukan? Mungkin karena aku memang belum menemukan PASSION belajar yang sesungguhnya pada perkuliahan sebelumnya. Kurangnya passion belajar tiga tahun yang lalu harus kubayar habis-habisan dengan kuliah ini agar tak menjadi penyesalan kemudian hari. Itu janjiku sungguh.
Pun dalam kantor, tenggelam dalam deretan deadline hingga tak jarang kuabaikan jam malam. Batinku terus bertanya apakah memang ini yang kucari? Wawasan dunia pendidikan mulai meluas, pikiran melalang penasaran menuju sudut-sudut dunia namun jasadku masih terdampar dalam ruangan putih 5×7 meter. Apakah hidupku selamanya akan terkurung dalam ruangan ini? Sampai kapan kuhias pemikiran orang lain dalam sampul cantik padahal esensi dasar atas ilmu yang didalamnya saja aku tak tahu! Aku ingin tidak hanya berada dibalik sampul pemikiran orang lain, aku ingin menjadi bagian terdepan terhadap perubahan dan keilmuan. Aku sungguh ingin..hasrat ini tak pernah memudar, setiap hari di detik pertama pijakan awal dalam ruangan putih itu…
Adalah cita-cita..ia muncul tenggelam layaknya pohon yang berbaris dan berkejaran dibalik kaca jendela kala pagi dan berkelit lincah diantara jajaran temaram lampu jalan kala malam. Sesekali ia bersembunyi dan terbang bersama angin dan kembali mengetuk alam bawah sadarku untuk menjejakkan kaki dalam deretan langkah kecil perjuangan yang sesungguhnya, mengikat makna dalam setiap kerja nyata, menyadari bahwa tirani keangkuhan tidak bisa serta merta dihancurkan dengan nuklir “madani” yang keharuman menambah indah dunia, karena sesungguhnya ia adalah bagian dari perjalanan panjang dari kehidupan yang dititahkan atas setiap nyawa yang berakal. Hanya yang berakal..
Bukankah Allah telah menjanjikan derajat yang lebih tinggi bagi orang-orang yang berilmu?
Tapi bagaimana aku bisa berada di garis depan perubahan, jika saat ini saja mudah sekali menyerah pada keadaan? Kenapa aku mudah sekali mentolelir kemalasan? Tunggu.. apa iya kemalasan?
Kantor bagian produksi yang bertambah jauh dari kampus?
Penambahan cctv dalam ruangan?
Tidak upgrading karyawan?
Kurangnya percepatan inovasi dalam penerbitan?
Kurangnya hearing pendapat?
Merasa portofolio sudah cukup?
Bosan dengan lingkungan dan jenis pekerjaan?
Tapi merek sangat baik dan telah memberikanku banyak kepercayaan..
Tapi..
Jadwal kuliah yang sudah tidak mengakomodir mahasiswa yang kuliah sambil bekerja..
Semester 5 yang penuh penelitian..
Ingin memenuhi target mengajar..
Ingin menguasai perkuliahan secara utuh..
Ingin membabat habis sisa 18 SKS terakhir..
PPL, skripsi, lalu sidang..
Terlepas dari itu semua, sebenarnya aku hanya ingin mencari keutuhan makna AKU yang sebenarnya, aku ingin mencari definisi atas diriku sendiri sekalipun harus terjegal dengan realitas yang ada. Seperti beberapa hari belakangan ini, semangatku yang seringkali kugenjot habis untuk mencari kepuasan dalam bersekolah, entah mengapa semakin fluktuatif dan sering menyentuh antiklimaks keyakinan. Realitas ketidakmandirian dalam menafkahi diri sendiri menjadi momok dalam melangkah, aku dihadapkan pada keadaan kata-kata “seharusnya”! Ya, seharusnya orang-orang seumuranku telah mampu menghidupi dirinya sendiri bahkan mampu menafkahi keluarganya sendiri, seharusnya sudah bisa menopang perekonomian keluarga, seharusnya bukan meminta orang tua tapi memberinya, seharusnya bisa memenuhi cita-cita dengan jerih payah sendiri. Seharusnya..dan seharusnya..
Dalam buku “Sekolah itu candu” kita seringkali terbentur pada aturan masyarakat bahwa kualitas intelektualitas seseorang ditentukan oleh ijazah. Sehingga anak-anak Indonesia terjerat aturan wajib belajar dengan kualitas kurikulum yang alakadarnya. Bagi sebagian besar orang tua, sekolah seakan menjadi lingkaran setan yang tak putus-putus, berputar-putar dalam ketidakpastian kebutuhan dasar hidup. Sekolah menjadi candu, karena mau tidak mau, suka tidak suka harus diikuti demi sebuah “pengakuan” yang seringkali masih dipertanyakan dan diperebutkan untuk sebuah jabatan. (mohon dikoreksi kalau salah dalam menyarikan isi buku tsb).
Pagi tadi batinku berontak habis-habisan, bertolak belakang pada satu garis lengkung senyuman. Pengakuan seseorang selepas ia menutup pembicaraan panjang lebar di dengan seseorang di seberang pulau sana dalam menyepakati pembayaran “uang muka” PNS.
“Buat apa uang 15 juta itu mba?”
“Ooo..itu untuk uang muka pegawai negeri 3 orang, saya, bang y, dan bang x”
“maksudnya?”
“Iya tho, daerah kita ini sedang ada pemekaran di utara dan selatan, makanya lagi banyak penerimaan, ada jatah 1000 orang untuk seluruh daerah dan ada 300nya ada di bapak itu”
“memangnya gak ada tes?”
“ada, tapi kita orang kan banyak saingan, jadi biar langsung masuk saja, bulan 4 besok sudah dapat nama dan NIPnya”
“tapi teman-teman saya yang masuk masuk PNS benar-benar harus lulus tes dan wawancara..”
“itu lah, karena saingan banyak, makanya kita cari yang pasti-pasti saja”
“tapi itu kan mahal banget..”
“itu belum seberapa, kita ada link yang bisa kasih 10 juta per orang, sementara orang lain ada yang rela melepas sampai 60 juta!”
“Bukannya sekarang mba kuliah lagi?”
“Ooo, itu cuman buat formalitas aja..”
Astagfirullah..Na’udzubillah..
Aku memang kecanduan..
tapi bukan kecanduan yang memaksa untuk sebuah jabatan..
tidakkah ia mengerti ada kenikmatan tersendiri dalam menaklukkan ilmu pengetahuan..
pengetahuan menunjukkan eksistensi diri dalam kehidupan..
kutekankan..kecanduan ini bukan untuk sekedar pengakuan..
Sore itu hatiku ikut robek bersamaan saat amplop gaji itu dibuka empunya.
“Ini 50 ribu, ganti uang si mas chaer untuk benerin pintu..”
“Ini untuk propolis si adek kemaren..berapa harganya Ya? 100 ribu kan?”
Dan aku hanya bisa menelan pahit “Iya mah, udah cukup kok..”
🙂 bener nih kecanduan?, liat di tempat belajar-yang kecanduan belajar. ya gitu donk, ngeblog lagi.
Iya neh kecanduan..
Mungkin lebih tepatnya “Never ending learning”.
Belajar mah bisa dimana aja, asal tau gimana cara belajar. Belajar juga gak mesti harus di lembaga formal, walaupun lembaga formal lebih bisa menjanjikan penyelesaian dari pendidikan itu sendiri.
Sip deh, nge-blog lagih..
Makasih yoo..
Salut mbak. Bener sekali mbak, kita mencari ilmu dan rejeki gak mesti di tempat yang formal. “Rejeki tidak akan tertukar”